Secara harafiah. istilah Agropolitan berasal dari
kata Agro yang berarti ‘pertanian’ dan Polis/Politan
yang berarti ‘kota’. Dalam buku Pedoman
Umum Pengembangan Kawasan Agroplitan
& Pedoman Program Rintisan Pengembangan
Kawasan Agropolitan yang diterbitkan oleh
Kementerian Pertanian, Agropolitan didefinisikan
sebagai kota pertanian yang tumbuh dan
berkembang karena berjalannya sistem dan
usaha agribisnis sehingga mampu melayani,
mendorong, menarik, serta menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah
sekitarnya. Buku tersebut juga mendefinisikan
Kawasan Agropolitan sebagai sistem fungsional
desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki
keruangan desa yang ditandai dengan keberadaan
pusat agropolitan dan desa-desa di
sekitarnya sehingga terbentuklah Kawasan
Agropolitan.
Definisi Kawasan Agropolitan pun telah termaktub
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang yang menyebutkan
Kawasan Agropolitan sebagai kawasan yang
terdiri
atas satu atau lebih pusat kegiatan pada
wilayah perdesaan sebagai sistem produksi
pertanian
dan pengelolaan sumber daya alam
tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hirarki keruangan satuan
sistem permukiman dan agrobisnis.
Friedman mengungkapkan konsep agropolitan
sebagai distrik-distrik agropolitan yang merupakan
kawasan pertanian perdesaan dengan
kepadatan
penduduk rata-rata 200 jiwa/km2. Distrik agropolitan terdiri atas kota-kota tani
berpenduduk 10.000–25.000 jiwa. Luas wilayahnya
dibatasi dengan radius sejauh 5–10 km
sehingga menghasilkan jumlah penduduk total
antara 50.000–150.000 jiwa yang mayoritas
bekerja
di sektor pertanian. Konsep Friedman
tidak
membedakan secara spesifik antara pertanian
modern ataupun konvensional dan menyebutkan
setiap distrik sebagai satuan tunggal
yang terintegrasi.
Definisi Friedman di atas menggunakan besaran
penduduk dan luasan wilayah sebagai
ukuran. Maka. dapat disimpulkan bahwa suatu
distrik Agropolitan setara dengan 1 Wilayah
Pengembangan Parsial (WPP) permukiman
transmigrasi
jika dilihat dari besaran penduduknya.
Sedangkan. jika dilihat dari luasan
wilayahnya yang berkisar pada 100–250 km2
atau 10.000–25.000 ha. ukurannya dapat lebih
kecil dari luasan 1 WPP. Apabila dilihat secara
administratif, besaran penduduk dan luasan
wilayah tersebut setara dengan luasan wilayah
kecamatan yang berpenduduk sampai dengan
25.000 jiwa dan sudah dapat berfungsi sebagai
suatu simpul jasa distribusi.
Sementara, berdasarkan strukturnya, Kawasan
Agropolitan dibedakan atas Orde Pertama
(Kota Tani Utama), Orde Kedua (Pusat DistrikAgropolitan atau Pusat Pertumbuhan), dan
Orde Ketiga (Pusat Satuan Kawasan Pertanian).
Setiap orde berfungsi sebagai simpul jasa koleksi
dan distribusi dengan skala yang beragam
dan berjenjang (hirarki) serta pusat pelayanan
permukiman. Antarsimpul tersebut
disambungkan oleh jaringan transportasi yang
sesuai. Orde Pertama dan Kedua dipisahkan
oleh jarak sekitar 35–60 km. sesuai dengan
kondisi gegografis wilayah. Sedangkan, Orde
Kedua dan Ketiga terletak dalam satu distrik
agropolitan yang berjarak sekitar 15–35 km satu
sama lainnya.
Menurut definisi yang ada, Agropolitan atau Kota Pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil, Kota Kecamatan, Kota Perdesaan, atau Kota Nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai pusat pertumbuhan, Kota Pertanian ini pun mampu mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa di wilayah sekitarnya (hinterland) melalui pengembangan berbagai sektor, mulai dari pertanian, industri kecil, jasa pelayanan, hingga pariwisata.
Pengembangan Kawasan Agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatanketerikatan desa dan kota. Hal ini dapat terwujud melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di Kawasan Agropolitan. Sementara itu, pengembangan kawasan ini juga ditujukan untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi Kawasan Agropolitan melalui strategi pengembangan sebagai berikut :
Visi dan misi yang telah ditetapkan, kemudian diterjemahkan ke dalam Kebijakan dan Strategi Pembangunan Infrastruktur Agropolitan berupa dukungan terhadap pengembangan sistem dan usaha Agribisnis. Dengan demikian, kebijakan dan strategi yang ditetapkan mampu mendorong ketiga hal, yaitu :
Pengembangan Kawasan Agropolitan yang sepenuhnya memanfaatkan potensi lokal merupakan konsep Agropolitan yang sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial lokal. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), pengembangan Kawasan Agropolitan haruslah mendukung pengembangan kawasan andalan.
Oleh karena itu, pengembangannya tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusatpusat kegiatan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten. Sementara itu, kondisi negeri ini sangat memungkinkan untuk dikembangkannya Kawasan Agropolitan. Kondisi yang dimaksud adalah adanya ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja yang murah di Indonesia. Sebagian besar petani juga telah memiliki kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) yang didukung oleh keberadaan jaringan sektor hulu dan hilir serta kesiapan institusi. Namun demikian, pengembangan Kawasan Agropolitan bukan tanpa kendala. Beragam permasalahan yang dihadapi, antara lain pengembangan produk pertanian yang belum mendapat dukungan makro ekonomi sepenuhnya, keterbatasan jaringan infrastruktur fisik dan ekonomi, serta potensi dan peluang investasi di seluruh sektor yang masih belum tergali sehingga investor lebih berminat mePetani di kawasan agropolitan Ngombol Purworejo mengangkut hasil taninya melalui jalan poros desa yang telah beraspalnanamkan modalnya di kawasan yang telah maju. Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter juga belum berpihak pada sektor pertanian yang ditandai dengan masuknya produkproduk pertanian impor secara bebas serta tingginya suku bunga kredit pertanian.
Menurut definisi yang ada, Agropolitan atau Kota Pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil, Kota Kecamatan, Kota Perdesaan, atau Kota Nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai pusat pertumbuhan, Kota Pertanian ini pun mampu mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa di wilayah sekitarnya (hinterland) melalui pengembangan berbagai sektor, mulai dari pertanian, industri kecil, jasa pelayanan, hingga pariwisata.
Pengembangan Kawasan Agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatanketerikatan desa dan kota. Hal ini dapat terwujud melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di Kawasan Agropolitan. Sementara itu, pengembangan kawasan ini juga ditujukan untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi Kawasan Agropolitan melalui strategi pengembangan sebagai berikut :
- Meningkatkan diversifikasi ekonomi perdesaan melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, baik berupa hasil produksi maupun olahan.
- Meningkatkan akses petani terhadap sumberdaya produktif dan permodalan dengan memfasilitasi ketersediaan layanan yang dibutuhkan petani dan masyarakat. Layanan dapat berupa penyediaan sarana produksi, sarana pascapanen, dan permodalan yang tersedia di kawasan dalam jumlah, jenis, waktu, kualitas, dan lokasi yang tepat.
- Meningkatkan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam upaya memajukan industri pertanian sesuai kebutuhan masyarakat. Prasarana dan sarana publik yang disediakan pemerintah dilaksanakan dengan pendekatan kawasan, yaitu memerhatikan hasil identifikasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, serta tingkat perkembangan Kawasan Agropolitan.
- Mewujudkan permukiman perdesaan yang nyaman dan tertata, serta menjaga kelestarian lingkungan melalui pengaturan dan pelaksanaan masterplan Kawasan Agropolitan secara konsisten dan terkoordinasi.
Visi dan misi yang telah ditetapkan, kemudian diterjemahkan ke dalam Kebijakan dan Strategi Pembangunan Infrastruktur Agropolitan berupa dukungan terhadap pengembangan sistem dan usaha Agribisnis. Dengan demikian, kebijakan dan strategi yang ditetapkan mampu mendorong ketiga hal, yaitu :
- Peningkatan produktivitas hasil pertanian sehingga dihasilkan produk-produk pertanian yang berdaya saing tinggi dan diminati pasar.
- Pengolahan hasil pertanian untuk memperoleh nilai tambah atas produk hasil pertanian sebagai produk primer dengan menjadikannya berbagai produk olahan, baik intermediate product maupun final product.
- Pemasaran hasil pertanian untuk menunjang sistem pemasaran hasil pertanian dengan memperpendek mata rantai tata niaga perdagangan hasil pertanian. Mulai dari sentra produksi sampai ke sentra pemasaran akhir (outlet).
Pengembangan Kawasan Agropolitan yang sepenuhnya memanfaatkan potensi lokal merupakan konsep Agropolitan yang sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial lokal. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), pengembangan Kawasan Agropolitan haruslah mendukung pengembangan kawasan andalan.
Oleh karena itu, pengembangannya tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusatpusat kegiatan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten. Sementara itu, kondisi negeri ini sangat memungkinkan untuk dikembangkannya Kawasan Agropolitan. Kondisi yang dimaksud adalah adanya ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja yang murah di Indonesia. Sebagian besar petani juga telah memiliki kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) yang didukung oleh keberadaan jaringan sektor hulu dan hilir serta kesiapan institusi. Namun demikian, pengembangan Kawasan Agropolitan bukan tanpa kendala. Beragam permasalahan yang dihadapi, antara lain pengembangan produk pertanian yang belum mendapat dukungan makro ekonomi sepenuhnya, keterbatasan jaringan infrastruktur fisik dan ekonomi, serta potensi dan peluang investasi di seluruh sektor yang masih belum tergali sehingga investor lebih berminat mePetani di kawasan agropolitan Ngombol Purworejo mengangkut hasil taninya melalui jalan poros desa yang telah beraspalnanamkan modalnya di kawasan yang telah maju. Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter juga belum berpihak pada sektor pertanian yang ditandai dengan masuknya produkproduk pertanian impor secara bebas serta tingginya suku bunga kredit pertanian.